Home » » Meluruskan Ajakan “Kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah”

Meluruskan Ajakan “Kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah”

Written By Unknown on Minggu, 01 Juni 2014 | 08.48

@tauiyah


Oleh: Alil Wafa*
“Kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah!”. Sebuah ungkapan yang kadang kita dengar dari sebagian kalangan. Memang, al-Quran dan Sunnah merupakan dua sumber primer ajaran Islam yang diwariskan oleh Rasulullah saw, sehingga siapa saja yang menjadikan keduanya sebagai pedoman, berarti ia telah berpegang kepada ajaran Islam yang murni dan tidak akan sesat.
Sampai di sini, mungkin muncul tanda tanya, “Bagaimana mungkin kelompok yang menyerukan ‘kebenaran yang ideal’ berdasar al-Quran dan Sunnah masih dianggap keliru oleh para ulama pada zamannya? Mengapa pula paham sebuah kelompok di zaman sekarang yang semua ajarannya merujuk kepada al-Quran dan Sunnah juga dianggap menyimpang?
Mari kita perhatikan permasalahan ini secara komplit, agar terlihat “akar masalah” yang ada pada sikap yang terlihat sangat bagus dan ideal ini:
Pertama, prinsip “kembali kepada al- Quran dan as-Sunnah” adalah benar secara teoritis, dan sangat ideal bagi setiap orang yang mengaku beragama Islam. Namun, benar secara teoritis belum tentu benar secara praktis, menimbang bahwa tingkat kemampuan setiap orang dalam memahami al-Quran dan Sunnah berbeda-beda. Pastinya, pemahaman terhadap al-Quran atau Sunnah dari seorang alim, pakar bahasa Arab, ahli segala ilmu penafsiran dan perangkat ijtihad, akan jauh berbeda dengan kesimpulan pemahaman orang awam yang mengandalkan buku-buku “terjemah” al-Quran atau Sunnah.
Itulah kenapa pada zaman ini banyak bermunculan aliran menyimpang. Jawabannya, karena masing-masing mereka berusaha kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Masing-masing berupaya mengkaji dengan kapasitasnya sendiri, padahal belum punya kemampuan di bidang ini.  Sebut saja Yusman Roy (mantan petinju yang merintis shalat dengan bacaan yang diterjemah), Ahmad Mushadeq (mantan pengurus PBSI yang mengaku Nabi), dan kesalahpahaman sebagian kelompok dalam memahami bid’ah, syirik, ziarah kubur dls.
Kedua, al-Quran dan Sunnah sudah dibahas dan dikaji oleh para ulama terdahulu yang memiliki keahlian yang sangat mumpuni untuk melakukan hal itu. Sebut saja: Ulama mazhab yang empat, para mufassirîn (ulama tafsir), muhadditsîn (ulama Hadis), fuqaha (ulama fiqih), pakar akidah ahlussunnah Waljamaah, dan ulama tasawuf. Hasilnya, telah ditulis beribu-ribu jilid kitab dalam rangka menjelaskan kandungan al-Quran dan as-Sunnah secara gamblang dan terperinci, sebagai wujud cinta mereka terhadap umat yang hidup di kemudian hari.
Boleh dibilang, kemampuan yang dimiliki para ulama itu tak mungkin lagi bisa dicapai oleh orang setelahnya, terlebih pada zaman ini, menimbang masa hidup mereka yang masih dekat dengan masa hidup Rasulullah r dan para Shahabat yang tidak mungkin terulang. Belum lagi keunggulan hafalan, penguasaan berbagai bidang ilmu, lingkungan yang shaleh, wara’ (kehati-hatian), keikhlasan, keberkahan, dan lain sebagainya. Adalah sebuah keteledoran besar upaya orang belakangan dalam memahami Islam dengan cara “kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah” dilakukan tanpa merujuk pada pemahaman para ulama tersebut.
Ketiga, Para ulama telah menghidangkan penjelasan kandungan al-Quran dan Sunnah di dalam kitab-kitab mereka kepada umat sebagai sebuah “hasil jadi”. Para ulama itu telah memberi kemudahan kepada umat untuk dapat memahami agama dengan baik tanpa proses pengkajian atau penelitan yang rumit.
Pendek kata, para ulama seakan-akan telah menghidangkan “makanan siap saji” yang siap disantap oleh umat tanpa repot-repot meracik atau memasaknya terlebih dahulu, sebab para ulama tahu bahwa kemampuan meracik atau memasak itu tidak dimiliki setiap orang. Di saat ada kelompok mengajak umat untuk tidak menikmati hidangan para ulama, dan mengalihkan mereka untuk langsung merujuk kepada al-Quran dan Sunnah, berarti sama saja dengan menyuruh orang lapar untuk membuang hidangan yang siap disantapnya, lalu menyuruhnya untuk menanam padi.
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa ajakan “kembali kepada al-Quran dan Sunnah” itu belum tentu dapat dianggap benar. Di samping itu, para ulama yang telah menulis berjilid-jilid kitab itu, mereka tidak mengutarakan pendapat menurut hawa nafsunya. Amat ironis bila karya-karya para ulama yang jelas-jelas lebih mengerti tentang al-Quran dan Sunnah itu dituduh oleh kalangan tertentu sebagai kumpulan pendapat manusia.
*) Penulis adalah Pemimpin Redaksi
Buletin SIDOGIRI asal Rembang Pasuruan

0 komentar :

Posting Komentar