![]() |
@tauiyah |
Oleh: Alil Wafa*
“Kembali
kepada al-Quran dan as-Sunnah!”. Sebuah ungkapan yang kadang kita dengar dari
sebagian kalangan. Memang, al-Quran dan Sunnah merupakan dua sumber primer
ajaran Islam yang diwariskan oleh Rasulullah saw, sehingga siapa saja yang menjadikan
keduanya sebagai pedoman, berarti ia telah berpegang kepada ajaran Islam yang
murni dan tidak akan sesat.
Sampai di sini, mungkin muncul tanda
tanya, “Bagaimana mungkin kelompok yang menyerukan ‘kebenaran yang ideal’
berdasar al-Quran dan Sunnah masih dianggap keliru oleh para ulama pada zamannya?
Mengapa pula paham sebuah kelompok di zaman sekarang yang semua ajarannya
merujuk kepada al-Quran dan Sunnah juga dianggap menyimpang?
Mari kita
perhatikan permasalahan ini secara komplit, agar terlihat “akar masalah” yang
ada pada sikap yang terlihat sangat bagus dan ideal ini:
Pertama, prinsip “kembali kepada al- Quran dan as-Sunnah”
adalah benar secara teoritis, dan sangat ideal bagi setiap orang yang mengaku
beragama Islam. Namun, benar secara teoritis belum tentu benar secara praktis,
menimbang bahwa tingkat kemampuan setiap orang dalam memahami al-Quran dan
Sunnah berbeda-beda. Pastinya, pemahaman terhadap al-Quran atau Sunnah dari seorang
alim, pakar bahasa Arab, ahli segala ilmu penafsiran dan perangkat ijtihad,
akan jauh berbeda dengan kesimpulan pemahaman orang awam yang mengandalkan
buku-buku “terjemah” al-Quran atau Sunnah.
Itulah kenapa
pada zaman ini banyak bermunculan aliran menyimpang. Jawabannya, karena
masing-masing mereka berusaha kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Masing-masing
berupaya mengkaji dengan kapasitasnya sendiri, padahal belum punya kemampuan di
bidang ini. Sebut saja Yusman Roy
(mantan petinju yang merintis shalat dengan bacaan yang diterjemah), Ahmad
Mushadeq (mantan pengurus PBSI yang mengaku Nabi), dan kesalahpahaman sebagian
kelompok dalam memahami bid’ah, syirik, ziarah kubur dls.
Kedua, al-Quran dan Sunnah sudah dibahas dan
dikaji oleh para ulama terdahulu yang memiliki keahlian yang sangat mumpuni
untuk melakukan hal itu. Sebut saja: Ulama mazhab yang empat, para mufassirîn
(ulama tafsir), muhadditsîn (ulama Hadis), fuqaha (ulama fiqih), pakar
akidah ahlussunnah Waljamaah, dan ulama tasawuf. Hasilnya, telah ditulis
beribu-ribu jilid kitab dalam rangka menjelaskan kandungan al-Quran dan as-Sunnah
secara gamblang dan terperinci, sebagai wujud cinta mereka terhadap umat yang
hidup di kemudian hari.
Boleh
dibilang, kemampuan yang dimiliki para ulama itu tak mungkin lagi bisa dicapai
oleh orang setelahnya, terlebih pada zaman ini, menimbang masa hidup mereka
yang masih dekat dengan masa hidup Rasulullah r dan para Shahabat yang tidak mungkin
terulang. Belum lagi keunggulan hafalan, penguasaan berbagai bidang ilmu,
lingkungan yang shaleh, wara’ (kehati-hatian), keikhlasan, keberkahan, dan lain
sebagainya. Adalah sebuah keteledoran besar upaya orang belakangan dalam
memahami Islam dengan cara “kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah” dilakukan
tanpa merujuk pada pemahaman para ulama tersebut.
Ketiga, Para ulama telah menghidangkan
penjelasan kandungan al-Quran dan Sunnah di dalam kitab-kitab mereka kepada
umat sebagai sebuah “hasil jadi”. Para ulama itu telah memberi kemudahan kepada
umat untuk dapat memahami agama dengan baik tanpa proses pengkajian atau
penelitan yang rumit.
Pendek kata,
para ulama seakan-akan telah menghidangkan “makanan siap saji” yang siap
disantap oleh umat tanpa repot-repot meracik atau memasaknya terlebih dahulu,
sebab para ulama tahu bahwa kemampuan meracik atau memasak itu tidak dimiliki
setiap orang. Di saat ada kelompok mengajak umat untuk tidak menikmati hidangan
para ulama, dan mengalihkan mereka untuk langsung merujuk kepada al-Quran dan
Sunnah, berarti sama saja dengan menyuruh orang lapar untuk membuang hidangan
yang siap disantapnya, lalu menyuruhnya untuk menanam padi.
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa ajakan
“kembali kepada al-Quran dan Sunnah” itu belum tentu dapat dianggap benar. Di samping itu, para ulama
yang telah menulis berjilid-jilid kitab itu, mereka tidak
mengutarakan pendapat menurut hawa nafsunya. Amat ironis
bila karya-karya para ulama yang jelas-jelas lebih mengerti tentang al-Quran
dan Sunnah itu dituduh oleh kalangan tertentu sebagai kumpulan pendapat manusia.
*) Penulis
adalah Pemimpin Redaksi
Buletin SIDOGIRI asal Rembang Pasuruan
0 komentar :
Posting Komentar